Lahir di Xindian, Taipei County (sekarang New Taipei City), Shu Qi mudapindah ke Hong Kong pada usia 17. Dia mulai di softcore porno modelindustri, muncul di cover Penthouse Hong Kong untuk Februari 1995 masalahdan edisi Cina majalah Playboy. Dia akhirnya berada di bawah pengelolaanproduser Hong Kong Manfred Wong, yang ditandatangani di atas untukbeberapa Softcore Hong Kong film seperti Sex & II Zen pada tahun 1996.
Kita tidak hidup dalam firdaus, dan karena itu kita tak mampu menampik masa lalu.
Walter Benyamin benar ketika mengatakan itu. Masa lampau, bagi filsuf Jerman itu, bukan saja tak pernah tertinggal bahkan terus menghampiri, kadang hadir berulang. “Hanya sejarah-lah yang sesungguhnya dapat menerangkan, siapakah sesungguhnya manusia itu,” demikian dia berkata, menguatkan mazhab historisisme.
Tapi, sejarah semacam apa yang tak bisa diogahi itu? Benyamin punya jawaban: sejarah dengan kepedihan.
“Sejarah yang selalu dikenang ini bukanlah sejarah yang penuh dengan romantika manis. Namun, apa yang selalu membayangi orang adalah ingatan akan penderitaan, memoria passionis.”
Sejarah yang tak hanya menjejaki otak dengan tanggal, hari, percik suasana dan hangat percakapan, melainkan telah berubah menjadi verstehen; pemahaman dalam diri, terinternalisasikan, tertubuhkan. Dalam sejarah semacam itulah, masa depan, hidup yang kini dijalani, mendapatkan penebusan.
“Aku tak bisa melupakan masa lalu. Ada fase dalam hidupku yang begitu bodoh, yang sampai kini pun masih membuatku bertanya, ‘kok bisa aku melakukan hal itu’,” kata Shu Qi, aktris China yang kini telah menapak di Hollywood. “Tapi ya, itu memang hidupku. Dulu.”
Shu Qi memulai karier dengan cara yang tak lazim; dia memanfaatkan tubuhnya.
Dalam film Sex & Zen, yang menjadi sangat populer di Indonesia, aktris itu tak beradegan lain, kecuali menggeliat dan mendesis, menyayukan mata ketika menanggalkan busana, mengelinjangkan pinggul seakan berkuda.Ya, Shu Qi memulai karier sebagai bintang porno.Cara yang tepat.Namanya pun melesat.Tapi Shu Qi justru merasa cacat.yang ia rasa, sebenarnya dia tak pernah ke tujuan melangkah.Shu Qi salah arah.
Shu Qi ingin berubah. “Aku tahu telah berbuat keliru. Saat itu, dalam ketiadaan pengharapan dan dukungan keluarga, aku merasa telah dewasa untuk melakukan apa saja,” tuturnya dalam sesal yang punah sebagai tangis.
Shu Qi ingin berubah. “Aku tahu telah berbuat keliru. Saat itu, dalam ketiadaan pengharapan dan dukungan keluarga, aku merasa telah dewasa untuk melakukan apa saja,” tuturnya dalam sesal yang punah sebagai tangis.
Shu Qi berbenah. Ia berakting dengan Jacky Chan dalam Gorgeous, sebagai gadis lugu, tak lagi bersayu-sayu. Aktingnya tak cemerlang di situ. Tapi Shu Qi tahu, dia telah melangkah.
Kemudian, perlahan, dia mulai menemukan arah.
Kini, dia terpilih sebagai aktris dengan bibir terseksi di dunia, mengalahkan Angelina Jolie. Sampai 2010, jadwal filmnya telah penuh, beberapa di antaranya produksi Hollywood. Dia telah bermetamorfosa dari siburik itik menjadi angsa.
Tapi kemana pun melangkah, Shu Qi tak menampik masa lalunya, memoria passionis itu.
Dalam hal itulah Shu Qi berbeda dari Rahma Azhari.
Rahma sampai kini tak mengakui masa lalunya.
Ketika tampil sebagai tamu dalam “Bukan Empat Mata”, dia masih mengelak, dan cuma berkata, “Terserah orang mau bilang apa.” Dalam berbagai tayangan infotainmen, Rahma hanya mengiyakan foto dia dan Sarah yang belum lepas busana. Foto bugil bertiga, dalam tawa riang dan senyum cerah dengan tubuh bersabun busa, Rahma tak mengingatnya. Dia alpa.
Ya, sama seperti Shu Qi, Rahma pun menangis. Tapi tangis Rahma adalah rintihan pengingkaran, bahwa ada seseorang yang dengan sengaja telah menyakitinya, membuatkan aib untuknya. Roy Suryo pun dia anggap menguatkan sesuatu yang bukan saja tak ada, melainkan juga tak pernah dia lakukan.
Tapi, “Foto itu asli,” kata Roy Suryo.
Sarah dan Rahma, di mata Roy adalah korban. Dan karena itu, dia berharap keduanya tak mengingkari. Bahkan harus lapor ke polisi.
Roy barangkali tak menyadari bahwa Rahma tak sepenuhnya ingkar. Rahma hanya lupa.
“Masa lalu yang dapat dilupakan, adalah kelampauan yang tak menyimpan ingatan akan penderitaan,” kata Walter Benyamin. Bagi Rahma, mandi bertiga lepas busana sembari menggelakkan tawa bukanlah penderitaan, bukan aib atau pun kesalahan. Foto-foto itu adalah pameran kesenangan, kegembiraan, kegenitan, dan juga, berahi; hal yang hanya dilakukan mereka yang lupa diri.
Jadi, biarkan saja Rahma alpa. Karena, kelupaan pada masa lalu itu, kata Benyamin lagi, adalah tanda manusia yang telah kehilangan pathos, tujuan, dan juga sikap moral. Apalagi, tetap akan ada yang mencatatnya dalam sejarah ingatan banyak orang, bahwa ada jenis Shu Qi dan Rahma; yang satu telah berbenah dan melangkah dari masa lalu, satunya lagi masih amnesia, berkubang selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar