Powered By Blogger

Minggu, 06 Februari 2011

Globalisasi menurut bank dunia

Globalisasi menurut bank dunia
Menurut definisi Bank Dunia, globalisasi adalah proses integrasi ekonomi dan
masyarakat melalui arus informasi, ide, aktivitas, teknologi, barang, jasa,
modal, dan manusia antarnegara (Stern, 2000). Dalam lima tahun terakhir
globalisasi mendapat kecaman keras di mana-mana. Sekalipun gelombang demonstrasi
antiglobalisasi bisa dimaklumi sebagai 'penyaluran salah alamat' atas rasa
frustrasi akan kinerja lembaga-lembaga global, pesan untuk menafikan globalisasi
sungguh tidak dapat dimengerti.
Globalization and Its Discontents (NY, Norton: 2002), buku terakhir Stiglitz,
pemenang Nobel ekonomi 2001, disambut gembira (dan sembrono) oleh para proponen
antiglobalisasi. Ia diperlakukan sebagai senjata ampuh meneriakkan slogan “no to
globalization”. Padahal, buku ini adalah sebuah kritik tajam kepada institusi
global, terutama IMF, yang menurut Stiglitz telah salah menyikapi globalisasi.
Buku ini bukan perang terhadap globalisasi itu sendiri.
Bahkan, Stiglitz dalam jurnal The American Prospect mengecam para demonstran
antiglobalisasi dengan menyatakan gerakan protes globalisasi takkan mungkin ada
tanpa globalisasi. Dani Rodrik, ekonom Harvard, juga berpendapat senada. Bahwa,
masalahnya bukan pada globalisasi, melainkan pada bagaimana menangani
globalisasi.
Jamak diketahui, resep IMF dan World Bank kepada negara-negara berkembang untuk
bisa berpartisipasi dalam dan memetik untung dari integrasi global adalah
privatisasi, liberalisasi pasar modal, penentuan harga yang murni berdasarkan
kekuatan pasar, serta pengentasan kemiskinan. Keempat tahap ini dijadikan paket
standar oleh IMF/Bank Dunia setiap kali memberi asistensi kepada negara-negara
yang membutuhkan.
IMF bahkan menjabarkan kebijakan ini ke dalam 'juklak' yang sangat rinci. Inilah
fokus serangan Stiglitz, Rodrik, dan lain-lain. Bahwa penggunaan paket
plug-and-play semacam ini sangat berbahaya mengingat setiap negara memiliki
keunikan masing-masing dan karena itu, menuntut perlakuan yang unik pula.
Indonesia, misalnya, adalah negara yang telanjur melakukan liberalisasi pasar
modal dan lalu liberalisasi perdagangan--sebuah sekuens yang tidak biasa
(McKinnon, 1973)--sebelum terhantam krisis.
Dalam masa krisis, IMF mendikte Indonesia untuk tetap melepaskan nilai tukar dan
arus modal kepada pasar. Segala kebijakan alternatif yang menjurus kepada
kontrol pasar modal adalah haram. Yang terjadi kemudian adalah hantaman keras
dari naik-turunnya nilai tukar secara liar. Untuk menghalangi serangan
spekulatif, IMF menganjurkan tingkat bunga yang sangat tinggi. Hal ini, ditambah
dengan gejolak politik, justru mengirim sinyal kepada investor bahwa Indonesia
sedang dalam posisi terjun bebas tanpa parasut. Kebangkrutan mewabah, sementara
modal pun terbang ke luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar